Minggu, 30 Oktober 2016

Mengijinkan Diri



Aku tahu tidak sendiri menjalani ini. Aku tahu puluhan bahkan mungkin ratusan atau ribuan hati di luar sana, sedang merintih untuk hal yang sama seperti yang kualami. Aku juga tahu, semua ini terjadi padaku atas seijin Allah SWT, Dzat Yang Maha Tahu apa yang terbaik bagiku.

Namun nyatanya, aku tak sekuat itu untuk tetap tersenyum dan berkata, "It's okay, I'm fine." Aku punya cara sendiri untuk menyembuhkan luka yang kualami. Aku tak ingin lari dan bersembunyi di balik topeng 'aku baik-baik saja'. 

Aku menuliskan kisah ini saat kondisi batinku mulai membaik. Karena selalu dan selalu, ada hikmah yang tertuang dalam setiap hal di kehidupan ini. Dan sudah tentu tepat saat aku mengalami perihnya luka, maka hikmah itu takkan mampu kucerna. 

Suatu hari, sehari sebelum tanggal kelahiranku, aku berangkat menuju rumah sakit untuk menemui dokter yang akan memeriksa hasil inseminasi kedua kali yang kujalani beberapa minggu sebelumnya. Sampai di rumah sakit, waktu menunjukkan pukul 16.00 WIB, dan akupun menghuni ruang tunggu beserta para pasien lainnya. Tanpa sengaja, aku dan suami bertemu dengan pasangan lain yang kami kenal. Mereka sedang menjalani proses untuk bayi tabung. Singkat cerita, kami berbincang-bincang dan saling memberi semangat, sambil menunggu kedatangan dokter.

Pukul 18.00 WIB, aku dan suami menuju mushola untuk melaksanakan ibadah sholat Maghrib. Dalam doa kupanjatkan harapan dan permohonan pada Allah SWT, agar Ia ridha pada ikhtiarku ini. Jujur aku sudah mempersiapkan diriku untuk kemungkinan yang terburuk. Karena pada inseminasi pertama yang sebelumnya, aku harus menerima kenyataan pahit bahwa kehamilan yang kualami di usia 7 (tujuh) minggu harus digugurkan dengan obat, karena kantung embrio di rahimku tidak berkembang. Banyak yang bilang, bahwa kita harus menjaga pikiran positif, dan selalu optimis dengan hasil yang sesuai dengan ego kita. Namun buat aku yang pernah mengalami kegagalan dan tau bagaimana rasa kehilangan yang teramat sangat akibat harapan yang terlalu besar, mempersiapkan diri untuk kemungkinan terburuk adalah hal yang terbaik yang bisa kulakukan. Dan mungkin juga sisi diriku yang mulai mampu menerima kenyataan, serta berserah penuh pada apapun ketetapan-Nya, juga berupaya untuk bijak dalam menghadapi apapun kondisi yang harus kujalani. Bukan berarti aku pesimis dan tidak percaya pada-Nya. Aku hanya berserah setelah semua ikhtiar yang kulakukan. Tentu saja aku berdoa. Tentu saja aku sangat sangat sangat menginginkan seorang anak keturunan dalam rumah tangga kami yang telah berusia 6 (enam) tahun. Hanya saja, aku tahu porsiku. Aku berdoa untuk memohon, bukan untuk memaksa Sang Pencipta agar mau melakukan segala sesuatu sesuai dengan egoku sendiri.

Pukul 19.30 WIB, akhirnya dokter yang kami tunggu pun datang. Setelah beberapa pasien lain yang dipanggil akhirnya tibalah giliran kami untuk masuk ke dalam ruang periksa dokter. Oh iya, sebelum itu, ada salah satu pasien yang sedang menunggu juga bareng denganku, dan pasien itu adalah seorang ibu muda yang sedang hamil! Ohh, indahnya melihat pemandangan itu. Gaunnya yang sebatas lutut terlihat agak naik di bagian depan, akibat perutnya yang mulai membuncit. Ibu muda itu memakai flatshoes dan menguncir rambutnya membentuk ekor kuda. MashaAllah...sungguh pemandangan yang ingin kurasakan terjadi pada diriku. Tentu indah banget ya mengelus perut yang sedang membuncit karena adalah kehidupan mungil di dalam sana. Pasti keren banget setiap kali berjalan kesana kemari harus berhati-hati karena sedang menerima titipan berupa kehidupan baru di dalam rahim. MashaAllah...

Begitu masuk ke ruangan dokter, kami berbasa basi sejenak dengan sang dokter, dan seperti biasa, dokter itu langsung menyuruhku menuju ruangan lain untuk diadakan pemeriksaan USG Transvaginal. Kali itu adalah saat paling mendebarkan buatku. Kakiku gemetaran, tanganku mulai dingin akibat menahan debar jantungku sendiri. Ya, aku ketakutan setengah mati. Bahkan aku menutup kedua telingaku dan memejamkan mataku agar tak perlu melihat ke layar monitor yang menunjukkan isi rahimku, serta mendengarkan suara dokter yang akhirnya akan memberitahu hasilnya apakah aku hamil atau belum. 

Dan kabar itupun kuterima. Dokter tidak menemukan tanda-tanda kehamilan pada diriku. Dokter bilang, belum kelihatan embrionya. Sementara aku sudah terlambat haid selama 7 (tujuh) hari. Dokter meminta aku untuk datang lagi periksa, 2 (dua) minggu lagi sejak hari kedatanganku itu. Baiklah, karena aku sudah mempersiapkan diriku, maka aku hanya menarik nafas panjang, melafalkan istighar, dan memohon kekuatan agar mampu menjalani ini semua tetap dengan iman yang kuat. Hingga kemudian kudengar dari dokterku itu, dengan enteng beliau mengatakan, "Nanti kalau ternyata belum hamil juga, akan dilakukan tindakan hydrotubasi ya. Hydrotubasi itu mirip HSG. Nanti proses hydrotubasinya di rumah sakit B" What?! Mirip HSG?! Histerosalpingografi (HSG) adalah pemeriksaan sinar X dengan memakai cairan kontras yang dimasukkan ke rongga rahim dan saluran telur. Dan proses HSG yang pernah kujalani di rumah sakit B, rasanya tuh sakiiiiitttt banget! Bukannya aku nakut-nakutin (sesama penakut dilarang menakut-nakuti), tapi memang saat menjalani proses HSG itu aku kesakitan hingga pingsan bangun pingsan bangun beberapa kali karena sakitnya tak tertahankan. Dan dokter ini ngomong seolah-olah hydrotubasi itu adalah alat suntik pantat yang cuma terasa sakit semnit dua menit. Tentu saja aku langsung bertanya, kenapa harus dilakukan hydrotubasi? Jawabannya hanyalah, "Yaaa, nanti mana tahu dengan hydrotubasi malah bisa hamil alami lho." Yaaaaa, kalau mana tahu mah semua mana tahu. Maksudku, setidaknya beliay menjelaskan, bahwa ada kemungkinan A, B,C, bahwa salurannya begini begono, kondisi rahimnya begini begono, biar kita juga mendapatkan kejelasan. 

Rasanya aku malasss keluar dari ruangan dokter, karena aku tahu di luar ruangan ada sepasang suami istri kenalan kami yang pasti akan langsung bertanya, "Bagaimana hasilnya?" Tapi ya mau bagaimana lagi, aku gak punya ramuan buat menghilangkan diri. Benar saja, mereka langsung menoleh dan menyambut kami dengan pertanyaan itu. Aku berusaha menjawab dengan senyum lebar dan senyaman mungkin kubilang, "Kata dokter, belum kelihatan. Nanti dua minggu lagi akan di cek." CUKUP! Seharusnya kalimatku itu cukup kan? Kubayangkan mereka akan menjawab, "Oh iya, kami doakan hasilnya positif yaa. Hasilnya pasti yang terbaik." THAT'S IT! Tapi apa katanya si suami kenalan kami ini? "Oh gitu ya. Udah jangan stress. Pokoknya kalau mau jadi calon ibu kudu enjoy, jangan stress. karena stress itu nantinya bisa merusak hormon lho. Yang sabar aja, jangan stress pokoknya." Tau gak, dengerin orang ngoceh kayak gitu rasanya pengen kuguyur pake air kapur! Enak aja dia main ceramah jangan stress jangan stress, emangnya tau apa dia sama yang kualami? Emang bisa ya orang disuruh jangan stress? Gak bisa tau! Kalau mau menghibur hindari kata 'jangan'. masih banyak kok kalimat yang lebih menyenangkan buat didengar ketimbang perintah-perintah buat jangan stress macam itu. Wajahku mulai merona menahan marah, dan mataku mulai berkaca-kaca. Rasanya sedih banget, kenapa ya disaat begini harus mendengarkan ceramah orang yang tak paham akan perasaan orang lain. Akhirnya aku pura-pura berpamitan, mengekor suamiku yang berjalan menuju apotik untuk menebus obat. 

Sebelum pulang ke rumah, kami memutuskan untuk menunaikan sholat Isya terlebih dahulu di mushola rumah sakit. Sebelum ke mushola, aku mampir ke toilet. Dan di dalam toilet, akhirnya tangisku pecah tanpa bisa kubendung. Aku tersedu-sedu mengeluarkan segala kesedihan dan kemarahanku. Aku sedih karena belum mendengar kabar tentang anakku, aku marah karena dokter seenaknya menyuruh orang melakukan sesuatu yang sangat menyakitkan itu tanpa penjelasan apapun, aku juga marah karena mendengarkan ceramah dari orang yang menyebalkan. Aku tumpahkan semuanya di dalam toilet, hingga suamiku mencari-cariku dan memanggilku dari luar. Akupun terpaksa keluar toilet dengan wajah basah kuyup oleh airmata. Segera saja suamiku memelukku. Suamiku tidak mengatakan apa-apa. Aku tau diapun sibuk menata perasaannya. Aku tau suamiku berusaha untuk tetap tegar dan tersenyum di depanku. Dan sungguh itu semakin menyakitkan buatku. Rasanya aku bisa menanggung kesedihan bagi diriku sendiri, namun aku takkan sanggup bila melihat suamiku bersedih. 

Kamipun melaksanakan sholat Isya berjamaah di mushola. Begitu selesai sholat, tangisku kembali pecah. Aku menangis sejadi-jadinya di pangkuan suamiku. Rasanya aku seperti wanita yang tak ada gunanya. Suamiku hanya bilang, "Aku mengijinkanmu bersedih. Menangislah sepuasmu. Hanya saja, jangan bernah berpikiran yang aneh-aneh. Aku takkan menyerah untuk kita. Kuharap kamupun begitu."Ya Allah...ternyata selama ini aku belumlah setegar suamiku. Emosiku masih naik turun terkait ikhtiar ini. Dan memang aku juga ketakutan akan bayangan hydrotubasi. Suamiku juga bilang, "Ada aku. Takkan kubiarkan siapapun melakukan hal-hal yang menyakitimu. Kamu tak harus melakukan apa kata mereka."  Seketika tangisku mereda. Hahaha, rupanya aku ketakutan setengah mati akan proses hydrotubasi itu. 

Sepulang dari rumah sakit aku tak bisa tidur. Air mataku belum juga mau berhenti hingga keesokan harinya. Rasanya hatiku merindu luar biasa pada sosok anak. Rasanya aku sudah terlalu ingin menumpahkan cintaku pada anakku yang rupanya masih betah di surga. Aku sengaja meminta waktu untuk sendiri selama seharian penuh. Kebetulan suamiku sedang ada acara kantornya. Asisten rumah tanggakupun kuungsikan di rumah saudaranya. Aku hanya ingin sendirian menikmati kesedihanku. Aku membiarkan diriku menangis. Aku membaca Al Qur'an dan buku spiritual yang mampu menambah penyadaranku. Bahkan aku juga membaca ulang buku Eat Pray Love yang kumiliki. Ya, aku memang ingin sendirian menikmati kesedihanku, namun bukan berarti aku membiarkan diriku larut terlalu lama. Aku harus mempersiapkan diriku untuk merangkak kembali dari 'jurang' tempatku terjatuh. Setelah seharian berduka, aku mulai bisa tersenyum dan mau makan beberapa sendok cheese cake. Ya, sejak dari rumah sakit aku kehilangan selera makan. Oh iya, hari itu adalah hari lahirku. Walaupun aku tak pernah merayakan hari kelahiranku karena buatku setiap hari adalah hari baru yang patut dirayakan, namun melalui hari kelahiran seorang diri dalam keadaan berduka, itu adalah sesuatu yang luar biasa buatku. 

Keesokan malamnya, aku mulai bangkit. Bekal penyadaranku lumayan cukup untuk bisa tersenyum menyambut kepulangan suamiku. Ya, aku bersyukur diberi suami yang begitu perhatian dan pengertian akan kondisiku. Suamiku berusaha menghiburku dengan melawak. Dan dia membawaku ke restoran yang menyediakan steak kesukaan kami. Wajahku masih kusam bekas menangis, mataku masih bengkak dan hidungkupun masih merah. Namun aku mulai bisa tertawa kembali. Aku sudah punya rencana, bahwa apapun nanti hasilnya, aku akan menerima dan meyakini sebagai hal terbaik buatku. Aku takkan langsung mengiyakan arahan dokter tanpa tahu detilnya terlebih dahulu. Aku akan menyediakan waktu kurang lebih 3 (tiga) bulan untuk recovery diriku sendiri. Ya, aku masih yakin bahwa semua ini bisa dilalui dengan alternatif lain tanpa harus menanggung sakit di meja rumah sakit. Dan kalaupun kemungkinan terburuknya harus dilakukan hydrotubasi, maka aku akan tetap meminta untuk dibius. Takkan kubiarkan mereka menentukan apa yang harus kulakukan. Rasanya aku sudah lelah dengan suara-suara di luar sana yang sibuk bertanya tentang hasil, hasil, dan hasil, tanpa mau berempati pada 'rasa' yang sedang melanda. 

Sungguh proses ini membawa hikmah yang begitu besar buatku. Aku adalah orang yang optimis dan selalu percaya bahwa apa yang kuyakini pasti akan terjadi. Terkadang aku terlalu keras pada diriku sendiri untuk mencapai keinginanku itu. Sekarang, aku mulai belajar menerima dan menikmati keberadaan apa adanya diriku. Nyatanya bila Allah SWT menginginkan sesuatu terjadi padaku, pastilah akan terjadi. Dan bila Ia belum menginginkan hal itu, maka takkan terjadi padaku. Jadi buat apa bersikap keras pada diri sendiri? Optimis dan yakin itu diperlukan dalam ikhtiar yang kita jalani, bukan pada hasilnya. 

Akupun menjadi orang yang lebih mampu mendengarkan orang lain. Aku tak lagi banyak bertanya pada orang lain, "Kenapa?", "Bagaimana hasilnya?". Sekarang ini aku bisa tersenyum dan menganggukkan kepala atas segala apa yang mereka ungkapkan. Mereka tak perlu menjelaskan apa yang tak ingin dijelaskan. Aku menjadi paham porsiku sebagai pendengar yang hanya akan berpendapat bila diminta oleh mereka. Dan dalam memberikan pendapatpun, aku menjadi lebih peka. Bukan sekedar pendapat dari cara pandangku saja., namun juga mempertimbangkan sisi diri mereka yang bisa jadi akan memilih pendapatku sebagai alternatif bagi hidupnya. 

Pada akhirnya kita semua hanyalah manusia yang diciptakan untuk menghuni bumi. Pembagian tugasnya sudah sangatlah jelas dan terang benderang. Tugas manusia adalah berusaha dan berdoa, kemudian berserah sepenuhnya. Tugas Allah SWT adalah menentukan hasil bagi manusia. Tak ada untung rugi dalam aturan ini. Karena Sang Pencipta sesungguhnya TAKKAN PERNAH merugikan hamba-Nya. Hanya terkadang ketetapan itu tidak nyaman, terasa pahit bagi manusia. Bila ketidaknyamanan itu melanda, jangan lari dan sembunyi di balik topeng. Akui, dan terima. Ijinkan diri untuk berproses, dan jangan berhenti menanamkan penyadaran demi penyadaran agar prosesnya bisa terlewati tanpa berlarut-larut.

Teruntuk semua calon ibu, aku yakin kita tak pernah berniat untuk menyerah. Aku percaya semua calon ibu akan berjuang sekuat tenaga agar dipercaya menerima titipan-Nya berupa seorang anak dari rahimnya sendiri. Mari kita berjuang tanpa menyingkirkan anak-anak lain yang membutuhkan uluran tangan kita. Sembari kita menunggu kehadiran buah hati tercinta, alangkah indahnya bila kita juga berbagi kasih sayang dengan anak-anak lain yang pasti akan bersuka cita menerima curahan cinta dari kita. Karena bagaimanapun, sesungguhnya tak pernah ada calon ibu. Semua wanita adalah ibu. Ibu yang tak pernah kekurangan cinta kasih untuk dibagi dengan siapapun.

Salam Sayangku,